-- Tari Bedhaya :
Budaya
Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari
disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya
dengan 9 penari ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak
perjanjian Giyanti pada tahun 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung
Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka disusunlah Bedhaya dengan penari
berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke Kraton Kasunanan
Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk
jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai berikut :
a. Endhel Pojok
b. Batak
c. Gulu
d. Dhada
e. Buncit
f. Endhel Apit Ngajeng
g. Endhel Apit Wuri
h. Endhel Weton Ngajeng
i. Endhel Weton Wuri
Berbagai jenis tari Bedhaya yang belum mengalami perubahan :
-- Bedhaya Ketawang lama tarian 130 menit
-- Bedhaya Pangkur lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Duradasih lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Mangunkarya lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Sinom lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Endhol-endhol lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Gandrungmanis lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Kabor lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Tejanata lama tarian 60 menit
Pada
umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang
yang jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara
keperluan jahat di lingkungan Istana. Di samping itu ada juga
Bedhaya-bedhaya yang mempunyai tema kepahlawanan dan bersifat
monumental.
Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi)
maka untuk konsumsi masa kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan
tidak mengurangi ciri dan bobotnya.
Contoh Bedhaya garapan baru :
-- Bedhaya La la lama tarian 15 menit
-- Bedhaya To lu lama tarian 12 menit
-- Bedhaya Alok lama tarian 15 menit
dll.
-- Tari Srimpi
Tari
Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat
sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan
terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang
nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat
yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada
yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung. Juga karena lamanya
penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa kini diadakan inovasi.
Contoh Srimpi hasil garapan baru :
Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
dll.
Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi :
a.
Beksan Gambyong : berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi
Mas Ajeng Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal
suaranya yang baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan
Kasunanan Surakarta untuk menari di Istana sambil memberi pelajaran
kepada para putra/I Raja. Oleh Istana tari itu diubah menjadi tari
Gambyong.
Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan
untuk menyambut tamu dalam upacara peringatan hari besar dan perkawinan.
Adapun ciri-ciri Tari ini :
-- Jumlah penari seorang putri atau lebih
-- Memakai jarit wiron
-- Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
-- Tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung
-- Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.
b.
Beksan Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu
prajurit yang unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan
pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra
beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata
perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang
dengan menggunakan alat perang. Ciri-ciri tarian ini :
-- Ditarikan oleh dua orang putra/i
-- Bentuk tariannya sama
-- Tidak mengambil suatu cerita
-- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
-- Bentuk pakaiannya sama
-- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
-- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
-- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
c. Tari Pethilan :
Hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil adegan / bagian dari ceritera pewayangan.
Ciri-cirinya :
-- Tari boleh sama, boleh tidak
-- Menggunakan ontowacono (dialog)
-- Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
-- Ada yang kalah/menang atau mati
-- Perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak, gangsaran
-- Memetik dari suatu cerita lakon.
Contoh dari Pethilan :
-- Bambangan Cakil
-- Hanila
-- Prahasta, dll.
d.
Tari Golek :
Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di
Surakarta pada upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu
Angger tahun 1910. Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya
Surakarta. Tari ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis
yang baru menginjak masa akhil baliq, agar lebih cantik dan menarik.
Macam-macamnya :
-- Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
-- Golek Montro iringan Gendhing Montro
-- Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung, dll.
e. Tari Bondan :
Tari ini dibagi menjadi :
-- Bondan Cindogo
-- Bondan Mardisiwi
-- Bondan Pegunungan/Tani.
Tari
Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa
kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan Cindogo
satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang
pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa
menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo. Ciri pakaiannya :
-- Memakai kain Wiron
-- Memakai Jamang
-- Memakai baju kotang
-- Menggendong boneka, memanggul payung
-- Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang.
Untuk
gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Tapi
sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya. Sedangkan Bondan
Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang
asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi
lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. Ciri
pakaiannya :
-- mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan membawa alat pertanian.
--
Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan biasa, hanya
tidak memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali jika
memakai jamang maka klat bahu, sumping, sampur, dll sebelum dipakai
dimasukkan tenggok.
Bentuk tariannya ; pertama melukiskan kehidupan
petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan
dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari
seperti gerak tari Bondan Cindogo / Mardisiwi.
f. Tari Topeng :
Tari
ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang
pernah mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari
kayu dipoles dan disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang
diambil dari Wayang Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat
pertumbuhannya sejak Islam masuk terutama oleh Sunan Kalijaga yang
menggunakannya sebagai penyebaran agama. Beliau menciptakan 9 jenis
topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko,
Raton, Klono, Denowo, Benco(Tembem), Turas (Penthul). Pakaiannya dahulu
memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada kepala.
2. Tari Tradisional
Selain
tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional
yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian
tradisional tersebut tak kalah menariknya karena mempunyai
keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh kesenian tradisional :
a. Tari Dolalak, di Purworejo.
Pertunjukan
ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian menyerupai
pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi dengan
alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer,
dllnya. Menurut cerita, kesenian ini timbul pada masa berkobarnya perang
Aceh di jaman Belanda yang kemudian meluas ke daerah lain.
b. Patolan (Prisenan), di Rembang.
Sejenis
olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin
oleh dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Pertunjukan
ini diadakan sebagai olah raga dan sekaligus hiburan di waktu senggang
pada sore dan malam hari terutama di kala terang bulan purnama.
Lokasinya berada di tempat-tempat yang berpasir di tepi pantai. Seni
gulat rakyat ini berkembang di kalangan pelajar terutama di pantai
antara kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa Timur.
c. Blora.
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d. Pekalongan
Di
daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren. Kuntulan
adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan iringan
bunyi-bunyian seperti bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren adalah
sebuah tari khas yang magis animistis yang terdapat selain di Pekalongan
juga di Batang dan Tegal. Kesenian ini menampilkan seorang gadis yang
menari dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebelum tarian dimulai gadis
menari tersebut dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam tempat
tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang beberapa lama ia
telah selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini dapat
disaksikan pada waktu malam bulan purnama setelah panen.
e. Obeg dan Begalan.
Kesenian
ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang
wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu
(kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini
dipimpin oleh seorang pawang (dukun) yang dapat membuat pemain dalam
keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam
rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah
Bangumas pada umumnya juga terdapat di Cilacap, Purbalingga maupun di
daerah di luar Kabupaten Banyumas. Yang bersifat khas Banyumas antara
lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
f. Calung dari Banyumas
Calung
adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan menggunakan bunyi- bunyian
semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu yang dibawakan
merupakan gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian
yang diperagakan oleh beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan
biasanya diselenggarakan oleh keluarga yang baru pertama kalinya
mengawinkan anaknya. Yang mengadakan upacara ini adalah dari pihak orang
tua mempelai wanita.
g. Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
Kesenian
ini diperagakan secara massal, sering dipentaskan untuk menyambut tamu
-tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara
h. Lengger dari Wonosobo
Kesenian
khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang masing-masing
berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan
bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini
mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya
yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa
yang digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai
keadaan tidak sadar.
i. Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini
biasanya dimainkan oleh delapan orang yang dipimpin oleh seorang pawang
yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende, kenong dll. Dan pada
puncaknya pemain dapat mencapai tak sadar.
j. Tarian Jlantur dari Boyolali
Sebuah
tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala
gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan
senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan
berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur semangat
kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
k. Ketek Ogleng dari Wonogiri
Kesenian
yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih klasik pada
jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah menurut selera
rakyat setempat menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang
mengisahkan percintaan antara Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng.
Penampilannya dititik beratkan pada suguhan tarian akrobatis gaya kera
(Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh seorang dengan berpakaian kera
seperti wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain dipertunjukan
di atas seutas tali.
3. Tari Garapan Baru (Kreasi Baru)
Meskipun
namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun
tradisional. Sebagai contoh :
a. Tari Prawiroguno
Tari ini
menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng
sebagai alat untuk melindungi diri.
b. Tari Tepak-Tepak Putri
Tari
yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri sedang bersuka
ria memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang bernafas
Islam.
Sumber : http://www.blogster.com
Terimakasih.... sangat membantu....
BalasHapus